Fimela.com, Jakarta Data menunjukan cakupan imunisasi pada anak di dunia turun 3 persen pada 2020 dibanding 2019. Di Indonesia sendiri imunisasi dasar turun hingga 11.1 persen di tahun 2020 dibanding 2019, dari 93,7 persen kini hanya 82,5 persen.
Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI, Dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) menjelaskan bahwa cakupan imunisasi menurun selama pandemi Covid-19. Padahal, ia mengatakan beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan imuniasi (PD3I) yang kerap terjadi pada anak-anak.
Bahkan dr. Piprim menyampaikan sebelum melakukan imunisasi covid-19 sebaiknya lakukan imunisasi agar tidak terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti penyakit campak atau polio. Jadi ia mengatakan, penyakit yang sudah terkendali bisa muncul lagi jika imunisasi dasar terlupakan.
“Imunisasi dasar jangan sampai dilupakan untuk mencegah berbagai penyakit bagi anak. Ketika vaksinasi itu sudah menjadi program pemerintah, maka biasanya yang dicegah adalah termasuk PD3I yang bisa menyebabkan kecacatan atau meninggal. Covid-19 memang sangat menyebar, namun penyakit seperti campak, difteri, dan polio jauh lebih bahaya pada anak. Jika kita abai maka akan terjadi KLB,” ujarnya dalam acara seminar dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dengan tema “Dukungan Multisektoral Untuk kejar Imunisasi.
Ketua UKK infeksi dan penyakit tropis IDAI dr. Anggraini Alam mengatakan penyakit berbahaya bisa dicegah dengan imunisasi. Di Indonesia sendiri sudah tersedia 13 vaksin ditambah satu untuk vaksin Covid-19 jadi total 14 vaksin yang tersedia.
“Ada 13 penyakit yg bisa menjadi wabah di masa pandemi ini yaitu difteri, bull neck, campak, rubella campak jerman yang mengenai janin, cacar air, dan masih banyak. Maka ke-13 imunisasi tersebut penting dilakukan untuk cegah KLB. Apalagi saat ini globalisasi membuat penyakit mudah berpindah,” ujar dr. Anggraini.
Selain itu, jika imunisasi tidak segara dilakukan ditakutkan selain menjadi KLB, akan muncul penyakit baru seperti covid-19 ini. Bila anak tidak melakukan imunisasi, maka jika anak sakit akan menyebabkan berbagai komplikasi yang terjadi bulanan atau bahkan tahunan.
“Contoh campak busa terjadi 5 tahun bahkan lebih dari 10 tahun. Kemudian jika anak mengalami kerusakan otak sehingga cacat tidak bisa melakukan kegiatan apapun dan kemudian meninggal,” pungkasnya.
Hingga November 2021, laporan dari Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan tahun 2021 sudah mencatat adanya kasus baru difteri pada 23 anak. 54 laporan kasus campak, 91 laporan kasus Rubela, dan 80 persen status imunisasi tidak lengkap atau tidak jelas riwayat vaksinnya.